DKI Jakarta – Sejak pertama kali mencalonkan diri sebagai presiden Amerika Serikat pada 2016, Donald Trump menempatkan dirinya sebagai penduduk yang digunakan sulit ditebak.
Dia bahkan pernah berkata bahwa Amerika Serikat harus berubah menjadi negara yang mana sulit diprediksi oleh sebab itu dengan cara itu lawan kesulitan menebak Negeri Paman Sam sehingga tak miliki pilihan selain menuruti tuntutan AS.
Trump mencoba memperlihatkan diri sebagai penduduk yang mana nekad, bahkan gila, sehingga pihak lain takut membayangkan konsekuensi kegilaannya untuk kemudian menuruti gertakan-gertakannya.
Dalam kebijakan pemerintah internasional, keinginan untuk terlihat sulit diprediksi itu disebut dengan "Madman Theory" atau "Teori Orang Gila."
Ini adalah teori tentang pemimpin yang mana tindakan-tindakan serta pandangan-pandangannya tak segan berkonflik, dengan tujuan utama menghasilkan lawan ketakutan lalu akhirnya memberikan konsesi.
Trump sendiri kerap sesumbar bahwa lawan-lawannya takut kepadanya dikarenakan tak mampu memprediksi apa yang dimaksud akan beliau lakukan terhadap mereka.
Istilah "Madman Theory" pertama kali meninggalkan dari mulut Richard Nixon, presiden Amerika Serikat pada 1969-1974, semasa Perang Vietnam.
Kala itu Nixon berjuang memaksa Vietnam Utara atau Vietcong agar mengakhiri perang.
Vietcong memang benar sulit sekali diajak berunding, sampai Nixon memberi instruksi terhadap para pemimpin mereka bahwa beliau bisa saja nekad melakukan hal-hal yang hanya sekali dijalankan oleh warga gila.
"Saya menyebutnya 'Teori Orang Gila', Bob. Saya ingin Vietnam Utara percaya bahwa saya sudah ada sampai pada titik bahwa saya akan melakukan apa semata untuk menghentikan pertempuran ini," kata Nixon untuk untuk kepala staf kepresidenannya, Bob Haldeman.
Ternyata, Vietnam Utara kemudian juga Uni Soviet yang dimaksud berubah menjadi sekutu utama Vietcong, termakan oleh deskripsi bahwa Nixon "orang gila" yang mana bisa saja berbuat nekad, salah satunya melancarkan serangan nuklir seperti ketika menghancurkan Hiroshima serta Nagasaki pada 1945.
Vietcong akhirnya mau berunding pada 1972, walau Perang Vietnam baru berakhir tiga tahun kemudian akibat tempat Amerika Serikat yang mana terus didesak Vietcong.
Sebenarnya banyak pemimpin bumi yang dimaksud berpura-pura gila, jarak jauh sebelum Nixon mencetuskan "Madman Theory".
Itu di antaranya Adolf Hitler pada Perang Planet II lalu pemimpin Uni Soviet Nikita Kruschchev yang tersebut menggertak Negeri Paman Sam dengan menggelarkan senjata nuklir di Kuba pada Oktober 1962.
Kadang diperlukan berpura-pura gila
Pemikir kebijakan pemerintah termasyhur, Niccolo Machiavelli, pada "Discourses on Livy", menyatakan "berpura-pura gila itu kadang hal yang digunakan bijaksana sekali."
Bijaksana pada kaitan dengan bagaimana kekuasaan berhubungan dengan entitas kekuasaan lainnya.
Itulah yang digunakan tampaknya sedang dipraktikkan Donald Trump, tak cuma ke arena kebijakan pemerintah juga militer, tapi juga ekonomi, dari Perang Rusia-Ukraina juga Perang Gaza, sampai peperangan dagang.
Trump terlihat berjuang menampilkan diri sebagai pemimpin yang dimaksud tidaklah rasional dan juga sulit diprediksi yang tersebut mampu nekad melakukan apa pun sampai mendapatkan konsesi-konsesi yang tersebut beliau inginkan dari pihak lain.
Cara sepihak Trump pada memberlakukan tarif impor untuk puluhan negara diantaranya Nusantara awal April ini, bisa saja dipahami dari "Teori Orang Gila" ini.
Teori identik bisa saja dipakai untuk menjelaskan provokasi-provokasi Trump di negosiasi dagang, setelahnya memberi waktu 90 hari untuk puluhan negara guna merundingkan lagi kontrak dagang dengan AS, usai menurunkan tarifnya bermetamorfosis menjadi flat 10 persen.
Langkah lebih besar gilanya terhadap China, yang mana dijatuhi tarif impor sampai 145 persen, juga dapat dipahami dari perspektif "Madman Theory".
Trump juga mengaplikasikannya pada kebijakan luar negerinya, satu di antaranya di konteks Perang Gaza, Perang negeri Ukraina serta ofensif diplomatiknya terhadap Iran pada kaitan penguasaan nuklir oleh negara dalam Timur Tengah itu.
Di satu sisi, dengan cara itu Trump efektif menekan negara Israel agar menyepakati gencatan senjata dalam Gaza, memproduksi Presiden Rusia Vladimir Kepala Negara Rusia memikirkan lagi negosiasi guna mengakhiri pertempuran di dalam Ukraina, dan juga memaksa Iran berunding segera dengan AS.
Tapi pada sisi lain, oleh sebab itu gebrakan-gebrakan Trump itu kerap merupakan manuver jangka pendek, maka ia acap tak menawarkan peta jalan menyeluruh nan langgeng di sebuah konflik, entah konflik urusan politik atau ekonomi.
Yang dominan dilihat orang-orang adalah semua itu ternyata melulu persoalan kepentingan sesaat AS.
Lebih buruk lagi, pemukim menjadi mengamati bahwa Trump sebenarnya tidak ada gila. Sebaliknya, ia adalah makhluk kalkulatif yang mirip rasionalnya dengan pemimpin pada umumnya, sewaktu telah menyangkut konsekuensi dari berkebijakan.
Contoh, ketika beliau menjatuhkan tarif 145 persen untuk China, ternyata kebijakan ini menciptakan beberapa jumlah barang Negeri Paman Sam berubah jadi sangat mahal bagi rakyat Amerika Serikat sendiri.
Taruhlah biaya iPhone, yang tersebut awalnya 1.000 dolar AS, melambung menjadi 2.450 dolar Amerika Serikat gara-gara tarif. Ini adalah sangat memberatkan konsumen AS, apalagi menurut Christian Science Monitor, 3 dari setiap 4 komoditas iPhone yang dijual dalam AS, dibuat ke China.
Dihadapkan terhadap kenyataan pahit ini, Trump kemudian menghasilkan kekecualian untuk sebagian produk, termasuk iPhone, bahwa tarif 145 persen tak berlaku untuk produk-produk kekecualian ini.
Padahal, Trump sebelumnya kerap sesumbar tak akan menciptakan pengecualian pada konteks konflik tarif.
Lebih kerap gagal ketimbang berhasil
Karena menyadari akibat dari kebijakan-kebijakannya, Trump menjadi terlihat berubah-ubah.
Dia menunda penerapan tarif dari awalnya 9 April bermetamorfosis menjadi 90 hari kemudian, lantaran mendapati kenyataan pahit pertempuran tarif malah menciptakan surat utang pemerintah Amerika Serikat jatuh, yang mana bermetamorfosis menjadi petunjuk bahwa pangsa mulai tak mempercayai instrumen penanaman modal paling aman di dalam planet itu. Dan ini buruk akibatnya bagi keseluruhan sistem perekonomian AS.
Di medan politik, Trump juga ternyata rasional pada mengkalkulasi akibat dari setiap dinamika yang terjadi ke Kawasan Gaza juga Ukraina, pada kaitan tempat kebijakan pemerintah Amerika Serikat dalam dunia.
Artinya, Trump menyadari juga menghitung konsekuensi dari kebijakannya, yang dimaksud pada kata lain ia identik sekali bukanlah pendatang gila.
Sayangnya, lantaran Trump adalah presiden sebuah negara adidaya yang digunakan postur ekonomi, urusan politik lalu militernya sangat meraksasa sampai menentukan gerak dunia, maka masih hanya bagian besar planet mengkhawatirkan Trump akan berbuat nekad.
Hanya sedikit negara yang selain menyadari Trump tak segila manuver-manuver politiknya, tapi juga sanggup menghadapi "kepura-pura gilaan" yang digunakan ditunjukkan Trump.
Negara seperti ini miliki kapabilitas power yang setara dengan AS, sehingga sanggup melakukan hal-hal yang tersebut sebanding gilanya dengan Trump.
Kabar baiknya, negara ini masih setia dengan globalisasi, perdagangan bebas, lalu multilateralisme.
Sayangnya, negara itu cuma satu, juga itu adalah China.
China pula yang terus berhadapan dengan Trump, di mana bagian terbesar bumi terpojok oleh Trump, sehingga kendati mengeluh akibat ditekan AS, tak bisa saja berbuat apa-apa selain menerima tekanan itu, satu di antaranya tuntutan mengubah pasal-pasal di kontrak dagang sehingga berubah menjadi lebih tinggi menguntungkan lapangan usaha AS.
Kabar baik lainnya, menurut beberapa orang pakar Hubungan Internasional pada Barat, "Madman Theory" lebih tinggi banyak gagal, ketimbang berhasil.
Ini dikarenakan pemimpin yang tersebut menerapkan teori ini kerap kesulitan memberikan janji yang digunakan kredibel. Dan itu pula yang tersebut berada dalam muncul pada Trump, yang mana memang benar berubah-ubah sehingga janji-janjinya tak mampu dianggap kredibel.
Sejumlah negara kemudian kawasan yang tersebut tak sekuat China sebenarnya menyadari kelemahan itu.
Negara-negara seperti ini tak terang-terangan berperang melawan seperti China, melainkan dengan merekatkan kerja identik antar mereka, sambil menuruti sebagian tuntutan Trump, kendati terpaksa.
Mereka kemungkinan besar berpikir tokh ini hanya sekali sementara, sampai Trump tak lagi berkuasa ke AS, atau sampai ia digoyang di sedang jalan oleh opini rakyat pada pada negerinya.
Artikel ini disadur dari Donald Trump dan “Madman Theory”